Rabu, 27 Februari 2008

analisis perubahan APBN 2008

A. Pendahuluan

Pusing memang, menjadi seorang Menteri Keuangan di sebuah negara ”kecil” seperti Indonesia. Seorang Menteri Keuangan Amerika Serikat-pun, barangkali juga stress apabila ia didaulat menjadi Menteri Keuangan di negara kita tercinta ini. Bagaimana tidak? Belum genap sebulan tahun anggaran 2008 berjalan, APBN 2008 sudah diusulkan untuk diubah ( jauh lebih cepat dari jadwal normal yang biasanya diajukan bulan Juli ), sebagai akibat harga minyak mentah di pasar dunia yang begitu liar karena sulitnya memprediksi kenaikan dan atau penurunannya. Hal ini masih diperparah dengan turunnya realisasi produksi minyak siap jual (lifting) Indonesia, juga resesi ekonomi Amerika Serikat yang mau tidak mau akan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi negeri ini. Tidak tahan dengan melesetnya asumsi pokok APBN 2008 tersebut, akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengadu ke Panitia Anggaran DPR, untuk meminta persetujuan DPR agar seluruh asumsi anggaran diubah.

Sejak disahkan menjadi undang-undang sekitar Oktober 2007 lalu, nasib APBN 2008 sudah mulai dikaji ulang pada usianya yang memasuki bulan ketiga. Mungkin ini usia APBN terpendek sepanjang sejarah anggaran Indonesia. Menkeu mengungkapkan, seluruh target anggaran dan asumsi dasar yang terkait dengan minyak sudah tidak realistis lagi. Asumsi pokok APBN 2008 diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi 6,8%, inflasi 6%,nilai tukar Rp9.100 per USD, bunga SBI 3 bulan 7,5%, harga minyak USD60 per barel, lifting minyak 1,034 juta barel per hari, dan PDB nominal Rp4.306,607 triliun).

Yang pertama mengenai asumsi harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia. Target 60 dollar AS per barrel di APBN 2008 jauh di bawah rata-rata harga minyak sebenarnya, sehingga asumsi harga minyak diusulkan naik menjadi 80 dollar AS per barrel. Adapun lifting minyak yang ditargetkan 1,034 juta barrel per hari dinilai terlalu tinggi sehingga perlu direvisi menjadi 910.000 barrel per hari. Turunnya lifting dan membengkaknya harga minyak mentah dunia berdampak langsung pada subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik. Mengapa demikian? Mengingat negara kita tercinta ini belum bisa mengolah sendiri minyak mentah kita menjadi produk BBM, sehingga minyak mentah yang dihasilkan dari perut bumi Indonesia, harus diekspor terlebih dahulu, baru kita mengimpor produk BBM jadi dari negara yang bisa mengolah minyak mentah kita. Sehingga bila harga minyak mentah di pasaran dunia semakin menggila seperti sekarang ini praktis subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menutup selisih harga BBM yang diimpor dengan harga jual dalam negeri akan semakin melonjak. Jika kondisi yang terjadi saat ini dibiarkan apa adanya, subsidi BBM bakal naik dari Rp 45,8 triliun menjadi Rp 116,8 triliun, dan subsidi listrik bakal melonjak dari Rp 29,8 triliun menjadi Rp 54,2 triliun.

Lonjakan subsidi BBM dan listrik inilah menjadi penyumbang utama pembengkakan anggaran belanja pemerintah pusat dari target awal Rp 573,4 triliun di APBN 2008 menjadi Rp 683,4 triliun. Lalu kewajiban pemerintah untuk mentransfer dana bagi hasil sumber daya alam ke daerah pun meningkat Rp 7,2 triliun menjadi Rp 288,4 triliun. Kedua pos belanja itu saja membuat anggaran belanja negara bisa melonjak dari Rp 854,6 triliun ke Rp 971,8 triliun atau membengkak Rp 117,2 triliun. Masalah keuangan pemerintah itu semakin serius jika membandingkan potensi pembengkakan belanja tersebut, dengan kemampuan negara menghimpun penerimaannya. Depkeu memperkirakan, penerimaan negara hanya akan meningkat Rp 5,1 triliun menjadi Rp 786,4 triliun. Itu artinya akan terjadi defisit anggaran yang menganga lebar, yakni Rp 185,4 triliun atau setara 4,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Perkiraan defisit itu jauh di atas target defisit APBN 2008 yang ditetapkan Rp 73,3 triliun atau 1,7 persen PDB.

Resesi ekonomi di Amerika Serikat yang diakibatkan oleh sub prime mortgage –pun, turut menambah runyam suasana. Resesi ekonomi di negara super power tersebut mengakibatkan gejolak yang cukup mengkhawatirkan ekonomi negeri ini. IHSG di Bursa Efek Indonesia terkoreksi turun akibat kepanikan investor, harga kedelai impor asal AS ( yang notabene merupakan bahan baku pembuatan tempe dan tahu, makanan yang tak terpisahkan dari lidah orang Indonesia ) juga mengalami kenaikan tajam. Dan dampak lain yang jelas dikhawatirkan pemerintah kita adalah turunnya nilai ekspor Indonesia ke negara adidaya tersebut, yang jelas akan mengakibatkan potensi penerimaan pemerintah dari sisi ekspor akan turut berkurang.

Jika upaya pemerintah untuk menutup defisit tetap mengikuti rencana di APBN 2008, maka akan ada lubang di anggaran pemerintah Rp 112,5 triliun yang tidak dapat tertutupi. Untuk itu, pemerintah menawarkan sembilan langkah pengamanan APBN 2008 sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut . Sembilan langkah itu adalah :

  1. Optimalisasi perpajakan, PNBP, dan dividen BUMN.
  2. Penggunaan dana cadangan APBN.
  3. Penghematan dan penajaman prioritas belanja kementerian dan lembaga non-departemen.
  4. Perbaikan parameter produksi dan subsidi BBM serta listrik.
  5. Efisiensi di Pertamina dan PLN.
  6. Pemanfaatan dana kelebihan (windfall) di daerah.
  7. Penerbitan obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN).
  8. Pengurangan beban-beban pajak atas komoditas pangan strategis.
  9. Penambahan subsidi pangan.

Dua langkah terakhir merupakan langkah baru, karena dalam paket sembilan langkah pengamanan APBN 2008 lama tidak tercantum. Masalah pangan menjadi salah satu bagian langkah pengamanan karena kenaikan komoditas di pasar dunia juga melebar pada empat produk pangan, yaitu minyak kelapa sawit, gula, gandum, dan kedelai. Menkeu menegaskan, optimalisasi penerimaan negara akan dilakukan semaksimal mungkin, baik dari pajak maupun setoran dividen. Adapun dana cadangan yang dialokasikan sebagai peredam gejolak harga minyak sebesar Rp 6 triliun dipastikan akan habis diserap. Penghematan di seluruh kementerian dan lembaga nondepartemen diharapkan akan menghasilkan Rp 30 triliun.

Dengan kesembilan langkah itu, pemerintah berharap penerimaan negara akan meningkat dari rencana di APBN 2008 senilai Rp 781,3 triliun menjadi Rp 825,8 triliun. Itu lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan perubahan APBN tanpa sembilan langkah tadi, yakni Rp 786,4 triliun. Sementara anggaran belanja negara akan ditekan ke posisi Rp 914,9 triliun. Itu lebih rendah dari perkiraan anggaran belanja tanpa sembilan langkah pengamanan tersebut, yakni Rp 971,8 triliun. Sembilan langkah itu pun diharapkan bisa meredam defisit yang diperkirakan membengkak ke angka Rp 185,4 triliun, menjadi hanya sekitar Rp 89,1 triliun.

B. Uraian Pembahasan

”Kenapa ya, kok pemerintah repot-repot amat melakukan perubahan asumsi APBN, dan susah-susah memikirkan langkah penyelamatan APBN 2008? Defisit ya defisit saja, nggak usah repot-repot diubah, toh anggaran negara kita yang selama ini defisit terus, juga gak masyalah kan? Yang penting, harga barang-barang bisa murah lagi kaya’ jaman pak Harto dulu. Makan murah, bensin murah, beli apa-apa bisa murah. Gak kaya’ sekarang ini, opo-opo serba mahal, pemerintahnya dah jadi anggota NATO, alias No Action Talk Only”...Begitulah ketika salah satu teman saya yang masih awam tentang keuangan negara, saya mintai pendapatnya mengenai langkah-langkah penyelamatan APBN yang dilakukan oleh pemerintah. Yah, harap maklum saja lha wong dia hanya lulusan sebuah SMP terpencil di timur Solo, yang hobinya membaca koran, dan sok-sok an ngrumpi mengenai politik di Indonesia, dengan makelar yang sering mangkal di warungnya.

Saya jadi berpikir, seandainya teman-teman di STAN dimintai pendapat mengenai hal tersebut, kira-kira apakah mereka juga akan mengatakan hal yang sama, semoga saja tidak. Paling tidak teman-teman di STAN sudah punya sedikit bekal pengetahuan tentang keuangan negara, sehingga mereka bisa lebih berani dan tidak ngawur dalam berbicara serta menganalisa masalah tersebut ( meskipun ada juga yang ketika saya tanya, menjawab dengan apatis, ”Mboh lah mas, nggak ngerti aku, pokoke aku cepet lulus, trus ndang kerjo, terserah pemerintah mau gimana kebijakane, yang penting jangan sampai remunerasi Depkeu dihapus). Hmm, kok mahasiswa STAN kaya’ gitu ya?

Dilihat dari kacamata Public Expenditure Management, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah tersebut boleh dibilang sudah sangat tepat. Dalam buku Managing Public Expenditure, A Reference Book for Transition Countries yang telah diedit oleh Richard Allen dan Daniel Tommasi, manajemen pengeluaran pemerintah memiliki tiga tujuan dasar, yaitu :

1. Untuk menjaga disiplin fiscal secara keseluruhan

2. Untuk mengalokasikan sumber daya ( resources ) sejalan dengan prioritas pemerintah.

3. Untuk menghasilkan efisiensi dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Langkah langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyelamatkan APBN 2008, secara agregat, sangat sesuai dengan tujuan dari Public Expenditure Management yaitu menjaga disiplin fiskal secara keseluruhan. Pemerintah berusaha untuk mengatur overall expenditure-nya dalam rangka menghindarkan APBN dari defisit yang berlebihan, sehingga kondisi makro ekonomi Indonesia tetap stabil, agar roda perekonomian di negeri ini tetap berputar dengan baik. Defisit yang berlebihan secara otomatis akan membuat pos pembiayaan dalam APBN tahun berikutnya akan meningkat. Padahal seperti yang kita tahu bersama, bahwa kebanyakan pos pembiayaan APBN didapatkan dari hutang, entah itu dari dalam negeri, maupun hutang luar negeri. Jika hal ini terus berlanjut, lantas kapan negeri ini akan lepas dari jerat hutang yang melilit ”kemerdekaan” Republik Indonesia tercinta ini?

Tindakan pemerintah untuk mengatur pengeluaran ini, tidak hanya menyangkut satu atau dua kementrian dan lembaga pemerintah non-departemen saja, tapi meliputi pengaturan pengeluaran seluruh unsur kementrian dan lembaga pemerintah non-departemen. Hal ini tertuang dalam langkah ketiga penyelamatan APBN 2008 yang disampaikan pemerintah kepada DPR yaitu penghematan dan penajaman prioritas belanja kementerian dan lembaga non-departemen sebesar 15% dari anggaran semula.

Selanjutnya, mari kita amati secara terpisah per-item kebijakan yang akan diambil pemerintah dari sudut pandang tujuan Public Expenditure Management. Langkah pemerintah di satu sisi yang melakukan efisiensi subsidi BBM ( apakah itu pembatasan konsumsi premium & solar bersubsidi dengan smart card, pengendalian minyak tanah bersubsidi dengan kartu kendali, konversi minyak tanah ke elpiji, atau dengan cara lainnya ), dan di sisi lain malah menambah subsidi pangan, bila kita lihat dari tujuan dasar Public Expenditure Management, dapat kita kategorikan sebagai tujuan kedua yaitu mengalokasikan sumber daya ( resources ) yang sejalan dengan prioritas pemerintah.

Mengapa resource allocation ini penting? Mengapa subsidi BBM dibatasi dan subsidi justru malah dialihkan ke bahan pangan, ini tidak ada bedanya kan pada pengeluaran pemerintah? Bila melihatnya hanya dari satu sisi saja, mungkin orang bisa berpikir seperti itu. Akan tetapi dari kebijakan yang diambil ini, jelas terlihat bahwa pemerintah lebih memprioritaskan kesejahteraan masyarakat banyak, dan bukan segolongan kecil masyarakat mampu saja. Pengalihan subsidi tersebut ( mudahnya kita sebut demikian ), dimaksudkan selain untuk menjaga agregat fiskal, juga untuk mendorong pembagian beban keuangan antara masyarakat yang mampu secara ekonomi dan masyarakat yang kurang mampu. Harga-harga bahan pangan yang semakin melambung seperti yang terjadi pada harga kedelai dan juga pada harga minyak mentah secara global semakin menghimpit masyarakat yang tidak mampu. Pemerintah harus berupaya untuk mempertahankan daya beli masyarakat agar tingkat konsumsi rumah tangga sebagai salah satu penopang tingkat pertumbuhan ekonomi tidak menurun.

C. Kesimpulan

Setelah kita kaji lebih jauh, ternyata kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menyelamatkan APBN 2008 tersebut, tidak bisa terlepas dari tujuan dasar Public Expenditure Management. Dan dari pembahasan di atas, kita juga bisa menarik kesimpulan bahwa tiga tujuan dasar Public Expenditure Management tersebut adalah saling tergantung dan saling melengkapi. Tanpa disiplin fiskal yang tegas, adalah mustahil untuk mencapai efektifitas, ekonomis, dan keefisienan dari implementasi kebijakan, program dan prioritas, meskipun telah didukung oleh sistem manajemen internal yang baik. Tetapi disiplin fiskal saja dengan pengalokasian sumber daya yang sembarangan, dan kinerja pelayanan yang tidak efisien, juga tidak baik.

Jika pengeluaran pemerintah dari atas ke bawah dibuat dalam batas yang sangat kaku, dan tanpa memperhatikan kinerja internal dari sistem pembelanjaan publik, akibatnya bisa jadi aktivitas yang bermanfaat malah kekurangan dana, dan bukan tidak mungkin malah akan mendorong terjadinya penyimpangan prioritas kebijakan. Sehingga tidaklah mungkin, mengejar satu tujuan dasar dari Public Expenditure Management , tanpa memperhatikan tujuan dasar Public Expenditure Management lainnya.

Tidak ada komentar: