Rabu, 27 Februari 2008

Akuntansi Dalam Pandangan Islam

A. PENDAHULUAN

Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.

Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan).

Singkatnya, sebenarnya konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

B. Akuntansi Dalam Pandangan Islam

Akuntansi di dalam Islam didasarkan pada firman Alloh SWT dalam Al Qur’an, yaitu bahwasanya pengelolaan sistem jagad raya dan manajemen alam ini menggunakan sistem yang mirip dengan apa yang sekarang kita kenal
dengan akuntansi.
Alloh tidak membiarkan kita bebas, melakukan semua hal semau kita, tanpa monitoring dan pencatatan dari Alloh. Alloh memiliki malaikat Raqib dan Atid yang tugasnya mirip dengan tugas akuntan di dunia bisnis, yaitu mencatat setiap kegiatan maupun ”transaksi” yang dilakukan oleh setiap manusia. Pencatatan tersebut, kemudian ”diposting” dan dibuatlah laporannya, oleh kedua malaikat tadi, dalam buku yang disebut Sijjin (Laporan Amal Baik) dan Illyin (Laporan Amal Buruk), yang nantinya akan dilaporkan kepada Alloh di
akhirat nanti sebagai dasar untuk meminta pertanggungjawaban semua amalan kita.

Hal ini disampaikan dengan jelas pada kitab suci Al Qur’an dalam surat Al-Infithaar ayat 10-12 yang berbunyi : ”Padahal sesungguhnya pada kamu ada malaikat yang memonitor pekerjaanmu. Yang mulia di sisi Alloh dan yang mencatat pekerjaanmu itu.Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Laporan ini didukung bukti, dimana tidak ada satupun transaksi yang
dilakukan oleh manusia yang luput dari pengawasan Alloh, seperti yang
terlihat pada surat Al-Zalzalah ayat 7-8 yang berbunyi :
”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah ( biji sawi ) -pun niscaya dia akan menerima balasannya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah dia-pun akan menerima balasannya”.

Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah pencatatan sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

Dari ayat tersebut, bisa kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

Dari ayat di atas pula bisa kita catat bahwa sejak munculnya risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, telah ada perintah untuk kebenaran, keadilan diantara kedua pihak yang mempunyai hubungan muamalah tadi ( yang sekarang ini lebih kita kenal dengan sebutan Accountability) . Sedangkan pencatatan untuk tujuan lain, seperti pencatatan yang datanya digunakan untuk pengambilan keputusan tidak diatur, karena ini
sudah dianggap sebagai urusan yang sifatnya tidak perlu diatur oleh
kitab suci. Dan mengenai hal ini Rasulullah mengatakan : ”Kamu lebih
tahu urusan duniamu”.
Dari dasar-dasar yang kita ungkapkan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa akuntansi bagi umat Islam yang bermuamalah adalah suatu kewajiban, dan mustahil Rasulullah, sahabatnya, serta para filosof Islam yang terkenal 700 tahun kemudian tidak mengenal akuntansi (Harahap,2003).

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis. Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

C. Akuntansi Syariah vs Akuntansi Konvensional

Sampai dengan hari ini, ada enam pendekatan / paradigma yang telah bertarung dalam bidang ekonomi. Keenam paradigma itu adalah : paradigma antropologi/deduktif, paradigma kebenaran pendapatan/deductive, paradigma agregat-pasar-perilaku, paradigma keputusan-model, paradigma individual-pengguna, dan paradigma ekonomi/informasi ( Ahmed Riahi Belakoui, 1992 ).

Masing-masing paradigma yang dijelaskan di atas menentukan cara anggota memandang penelitian, praktek dan pendidikan akuntansi. Tidak ada paradigma yang lebih unggul satu dibanding dengan yang lainnya. Dengan kata lain, keberadaan paradigma tersebut didasarkan pada pengembangan dan intepretasi pemikiran manusia dalam mengkontruksi pengetahuan akuntansi.

Berdasarkan definisi paradigma yang dikemukakan Kuhn (1970), pendekatan baru dapat dikembangkan yaitu paradigma akuntansi syari’ah yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan masyarakat Muslim ( M Arief, 1985 dalam “Toward the Shari’ah Paradigm of Islamic Economics : The Beginning of a Scientific Revolution” The American Journal of Islamic Social Science ) . Secara nyata dasar-dasar paradigma syar’ah dapat divisualisasikan sbb :

Paradigma di atas menunjukkan bahwa syari’ah diturunkan dari tiga sumber, yaitu : Al-Qur’an, Hadis, dan Fiqih. Sumber-sumber tersebut urut secara hirarkhi tidak dapat mendahului satu terhadap yang lainnya. Sumber yang pertama adalah selalu Al-Qur’an, kemudian diikuti oleh Hadis, kemudian Fiqih dan seterusnya. Syari’ah adalah mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia, baik ekonomi, politik, sosial dan filsafat moral. Dengan kata lain, syari’ah berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya dalam hal akuntansi.

Tidak seperti paradigma yang lain, yang nampaknya memfokuskan pada peran khusus akuntansi dalam hal kegunaan pengambilan keputusan; informasi-ekonomi dan pelaporan pendapatan secara benar, paradigma syari’ah mengenal semua perbedaan peran tersebut. Paradigma syari’ah akan memasukkan konsep pertanggungjawaban dalam bidang akuntansi, yaitu dengan paradigma antropologi / deduktif. Paradigma ini akan menggunakan dasar penilaian tunggal dalam menentukan pendapatan (the true-income/deductive paradigm), pentingnya akuntan keuangan sebagai pihak yang memberikan layanan kelengkapan informasi keuangan. Paradigma syari’ah nampaknya menekankan antara the extreme holistic-atomistic dan dimensi radikal-deskriptif tentang teori sosiologi.

Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi: ”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa paradigma syari’ah dalam akuntansi akan mempertimbangan berbagai paradigma dengan menunjukkan adanya perbedaan ideologi akuntansi. Berdasarkan pijakan agama tersebut, maka ada tiga dimensi yang saling berhubungan, yaitu :

(1) mencari keridhoan Allah sebagai tujuan utama dalam menentukan keadilan sosio-ekonomi

(2) merealisasikan keuntungan bagi masyarakat, yaitu dengan memenuhi kewajiban kepada masyarakat, dan

(3) mengejar kepentingan-pribadi, yaitu : memenuhi kebutuhan sendiri.

Pemenuhan ketiga bagian bentuk aktivitas ini adalah termasuk dalam ibadah. Dengan kata lain, akuntansi dapat dianggap sebagai suatu aktivitas ibadah bagi seorang Muslim. Ketiga dimensi itu saling berhubungan untuk memenuhi kewajiban kepada Tuhan, masyarakat dan hak individu, dengan berdasarkan prinsip syari’ah yang dapat diamati. Berdasarkan paparan yang ada, maka secara visual kerangka konseptual akuntansi yang berdasarkan syari’ah yang digambarkan di atas.

Berdasarkan gambar di atas nampak, bahwa akuntansi syari’ah akan mencapai tujuan yang lebih luas tentang keadilan sosio-ekonomi (al-falah) dan mengakui bentuk ibadah. Prinsip-prinsip ini menunjukkan pada baik aspek teknis maupun kemanusiaan yang harus diturunkan dari syari’ah. Aspek teknis dalam akuntansi syari’ah adalah menunjuk pada konstruksi akuntansi yang berhubungan dengan otoritas dan pelaksanaannya. Jelasnya masalah konstruksi berhubungan dengan pengukuran dan penyingkapan, prinsip-prinsip sebagai berikut : zakat, bebas bunga, transaksi bisnis yang dihalakan dalam hukum Islam, harus diyakini.

Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
  2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
  3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
  4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
  5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
  6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
  7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

Secara garis besar kesimpulan penjelasan prinsip-prinsip yang menunjukkan aspek teknis dapat dilengkapi dalam tabel berikut :

Tabel 1. Ringkasan Postulat dan Prinsip Akuntansi Syari’ah Berdasarkan Pengukuran dan Penyingkapannya.

Zakat

Penilaian bagian-bagian yang dizakati diukur secara pasar, dibayarkan kepada delapan asnaf sebagaimana yang dianjurkan oleh Al-Qur’an atau disalurkan melalui Baitul Mal (lembaga zakat)

Zakat dan pajak tidak akan diperlakukan sebagai beban tetapi suatu bentuk ibadah yang tujuannya untuk mencapai distribusi kekayaan dalam rangka untuk mewujudkan keadilan sosio-ekonomi.

Diperlukan akuntan yang sesuai dan menggunakan beban dan ukuran yang benar

Diperlukan kehati-hatian dalam menghitung zakat dan mengeluarkan jumlah yang lebih besar dibanding kurang

Bebas bunga

Entitas harus berbentuk bagi hasil atau kerjasama untuk menghindari bunga.

Perputaran dana harus didasarkan pada bagi hasil dan kerjasama

Halal

Menghindari bentuk bisnis yang berhubungan dengan perjudian, alkohol, dan produk yang haram.

Menghindari transaksi yang bersifat spekulatif, seperti : bay al-gharar; mulamash; munabadh dan najash

Sedangkan konstruksi akuntansi yang berhubungan dengan masalah otoritas dan pelaksana, didasarkan pada prinsip-prinsip seperti : taqwa, kebenaran dan pertanggungjawaban. Ini merupakan bentuk pondasi dasar yang mempengaruhi nilai-nilai akuntan Muslim dan manajer yang juga akan dapat diamati melalui aktivitasnya. Secara ringkas dapat disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 2. Ringkasan Postulat dan Prinsip Akuntansi Syari’ah Berdasarkan Pemegang Kuasa dan Pelaksanaan.

Ketaqwaan

Mengakui bahwa Allah adalah Penguasa Tertinggi

Tuhan melihat setiap gerak yang akan dinilai pada hari Pembalasan

Dapat membedakan yang benar dan yang salah

Mendapatkan bimbingan dari Allah dalam pengambilan keputusan

Mencari barakah (Kemurahan Allah)

Kebenaran

Visi keberhasilan dan kegagalan yang meluas ke dunia, yaitu mencapai Maslahah

Memperbaiki hubungan baik dengan Allah (Hablun min’allah) dan hubungan dengan manusia (Hablun min an’nas)

Pertanggung –jawaban

Superioritas berada pada Allah

Amanah

Mengakui bahwa kerja adalah ibadah yang selalu dikaitkan dengan norma dan nilai / value “langit”

Mengakui bahwa kerja adalah amal sholih, yang merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan di dunia dan akhirat (al-falah)

Merealisasikan fungsi manusia sebagai khalifah di dunia dan bertanggungjawab atas perbuatannya

Berbuat adil kepada semua ciptaan Allah, bukan hanya pada manusia (ihsan)

Dari uraian di atas, akhirnya dapat disimpulkan mengenai perbedaan antara akuntansi konvensional dengan akuntansi syari’ah, sebagaimana tertera dalam tabel berikut :

Tabel 3. Ringkasan Perbedaan Prinsip yang melandasi Akuntansi Syari’ah dan Konvensional

Akuntansi Konvensional

Akuntansi Syari’ah

Postulat Entitas

Pemisahan antara bisnis dan pemilik

Entitas didasarkan pada bagi hasil.

Postulat Going-concern

Kelangsungan bisnis secara terus menerus, yaitu didasarkan pada realisasi keberadaan aset.

Kelangsungan usaha tergantung pada persetujuan kontrak antara kelompok yang terlibat dalam aktivitas bagi hasil.

Postulat Periode Akuntansi

Tidak dapat menunggu sampai akhir kehidupan perusahaan dengan mengukur keberhasilan aktivitas perusahaan

Setiap tahun dikenai zakat, kecuali untuk produk pertanian yang dihitung setiap panen

Postulat Unit Pengukuran

Nilai uang

Kuantitas nilai pasar digunakan untuk menentukan zakat binatang, hasil pertanian dan emas.

Prinsip Penyingkap-an Penuh

Bertujuan untuk pengambilan keputusan

Menunjukkan pemenuhan hak dan kewajiban kepada Allah, masyarakat dan individu.

Prinsip Obyektivitas

Reliabilitas pengukurang digunakan dengan dasar bias personal

Berhubungan erat dengan konsep ketaqwaan, yaitu pengeluaran materi maupun non materi untuk memenuhi kewajiban.

Prinsip Materi

Dihubungan dengan kepentingan relatif mengenai informasi pembuatan keputusan

Berhubungan dengan peng-ukuran dan pemenuhan tugas/ kewajiban kepada Allah, masyarakat dan individu

Prinsip Konsistensi

Dicatat dan dilaporkan menurut pola GAAP

Dicatat dan dilaporkan secara konsisten sesuai dengan prinsip yang dijabarkan oleh syari’ah

Prinsip Konservatisme

Pemilihan teknik akuntansi yang sedikit pengaruhnya terhadap pemilik

Pemilihan teknik akuntansi dengan dengan memperhatikan dampak baiknya terhadap masyarakat.

Perbedaan lainnya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
  2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
  3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
  4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
  5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
  6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Oleh karena, perbedaan antara akuntansi konvensional dengan akuntansi syari’ah itu tidak hanya pada batasan tujuannya saja namun juga pada prinsip-prinsip dasarnya. Sebagai contoh, bahwa kerangka konseptual pelaporan keuangan yang menggunakan paradigma syari’ah merupakan hal yang unik yang diperoleh dari hukum “Langit”, bukan sekedar hukum buatan manusia, dan implikasinya adalah peran akuntan muslim yang dapat disimpulkan sbb :

1. Diilhami dengan pandangan dunia tentang tauhid, tidak anti laba atau anti dunia, tetapi suatu visi keberhasilan dan kegagalan yang mencakup pada dimensi waktu yang lebih luas : dunia dan akhirat.

2. Pertanggungjawaban-tidak hanya pada pimpinan tetapi bertanggungjawab kepada Tuhan, karena manusia hanya sekedar hamba-Nya dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosio ekonomi di dunia dan diakhirat.

3. Hubungan - membutuhkan terciptanya hubungan baik antara pimpinan tetapi juga kepada pengikut, dan juga hubungan dengan Tuhan dengan memenuhi semua kewajiban keagamannya.

4. Motivasi-memberikan pelayanan yang terbaik dalam aktivitas akuntansinya, seperti amanah, ibadah, amal salih, yang kesemuanya ditujukan untuk mencapai kemenangan (al-falah) di dunia maupun di akhirat.

Wallahu a'lalam bishawab

F. DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’anul Kariim

Arief, M. 1985. “Toward the Shari’ah Paradigm of Islamic Economics : The Beginning of a Scientific Revolution” The American Journal of Islamic Social Science.

Belkaoui, A.R. 1992. Accounting Theory . USA : H Brace Jovanovich Publisher

Bin Khattab , Umar . 2002 . Fiqih Ekonomi Islam . Jakarta : Mujahid Press

Eldon S. Hendriksen, 1990. Accounting Theory, Homewood, Ilinois: Richard D. Irwin.

Muhammad, 2002, Pengantar Akuntansi Syari’ah, Jakarta: Salemba Empat,

R.J. Chambers, 1966, Accounting, Evaluation and Economic Behaviour, Englewood Cliffs. N.J. : Prentice-Hall.

Syahatah, Husein .19XX. Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, Jakarta

www. eramuslim. Com

www.fatimah.org

www.halalguide.info

www. irfunk'site. com

www. islam-online. com

www. library. usu. ac. id

www. msi-uii . net

Yusuf Qardhawi, 1993. Fiqih al-Zakah, Lahore: al-Faisal Publishing House.

Tidak ada komentar: